“Do ko ngae bengbengan ba, inggal kal melaib”
(Kamu membuat rumah, pasti akan segera menikah ya)
Dahulu menurut tetua desa, kalimat itu biasa terucap oleh masyarakat di Bali Aga tatkala menemui sahabat/keluarga yang terlihat sedang membangun rumah adat. Hal ini dikarenakan tidak mungkin dalam satu rumah ada dua kepala keluarga. Begitulah sepenggal kalimat yang bisa memberikan gambaran singkat mengapa rumah adat masih bisa ditemui di Kawasan Perdesaan Bali Aga SCTPB Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng.
Rumah rumah adat di Kawasan Perdesaan Bali Aga seperti contohnya di salah satu desa yang bernama Desa Pedawa memiliki suatu yang unik untuk diamati tidak hanya dari arsitekturnya namun juga dari nilai nilai filosofi bangunannya.
Banyak orang yang mengenal cerita bahwa orang yang baru menikah di Bali Aga seperti Desa Pedawa, harus memiliki Sanggah Kemulan (tempat suci) yang terbuat dari bambu atau yang disebut dengan namanya Kemulan Nganten (kemulan turip) dan letaknya di ulu (diluar umah). Ternyata ada cerita pula sebelumnya, menurut cerita Bapak Wayan Sukrata. Beliau menyampaikan bahwa masyarakat Bali Aga di Desa Pedawa, yang memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan harus sudah membuat rumah adat. Dapat dipahami, bahwa Rumah Adat di Desa Pedawa menunjukan adanya kemandirian seseorang yang akan menjadi kepala keluarga atau sebelum menikah harus sudah memiliki rumah adat. Hal ini mengibaratkan, bahwa kelak siap untuk di tinggalinya bersama istri keturunannya. Ternyata dengan tradisi itulah menyebabkan masih banyaknya rumah adat peninggalan warisan leluhurnya, karena adanya tradisis yang dimaksud.
Rumah warisan leluhur yang masih ada saat ini, dan kerap mendapat kunjungan adalah rumah adat Bandung Rangki, yang hanya terdiri dari satu ruangan. Rumah adat yang hanya terdiri dari satu ruangan inilah menurut beliau (wawancara Wayan Sukrata) menjadi cikal bakal mengapa setiap orang yang belum menikah harus memiliki rumah adat. Beliau menuturkan bahwa dengan keberadaan rumah adat yang hanya memiliki satu ruang, menegaskan bahwa mereka yang menikah harus memiliki rumah adat. Rumah Adat dengan satu ruangan yang dimaksud, dikarenakan seluruh aktivitas warga dari tempat tidur, tempat memasak, tempat menyimpan perabotan rumah tangga, tempat menyemayamkan mayat dan tempat untuk melaksanakan ritual upacara ada di dalam satu ruangan. Sehingga menunjukan bahwa satu kepala keluarga harus bisa menjaga dan mengawasi anggota keluarganya dan barang barang berharga lainnya. Sehingga dalam keterpusatan aktivitas keluarganya yang ada dalam satu ruangan saja, akan memberikan kemudahan bagi sang Kepala Keluarga untuk melindungi keluarganya. Tradisi setiap orang meikah harus membuat rumah adat inilah yang menyebabkan kebertahanan rumah adat masih terjaga sampai saat ini.
Hal unik lainnya, dan menjadi menarik karena jarang ditemukan ditempat lain adalah adanya tradisi menyapa bayi yang baru dilahirkan di dalam rumah adat, dengan mengucapkan satu kalimat berikut: “Yen mati mati ko jani, Yen idup idup ko makalantas”. Kalimat ini diucapkan oleh Kepala keluarga di dalam rumah adat, yang menemani istrinya setelah melahirkan. Kalimat tersebut memiliki makna bahwa “ Apabila engkau akan tumbuh dengan sehat, memberikan kebahagian kepada semua orang dan tidak membebani orang tuamu maka lanjutkanlah darmamu dan hidup di dunia ini. Namun apabila engkau akan meninggalkan kami, janganlah engkau hanya memberikan kebahagian sesaat. Lebih baik engkau pergi saat ini juga”. Ternyata kalimat yang singkat memiliki makna yang sangat dalam. Kebiasaan pengucapan kalimat ini disertai dengan gerakan mengayun ngayunkan kepala bayi kebawah tempat tidur orang tuanya. Tradisi itupun masih ditemukan sampai sekarang. Terkhusus bagi Ibu yang baru melahirkan posisi tidurnya melintang dengan posisi kepala di dalam dan kaki berhadapan dengan bungut paon (Dapur tradisional) mengingat posisi tempat tidur orang tua (Bale Gede) berhadapan dengan dapurnya.
Posisi dapur yang sejajar dengan tempat tidur ini semakin membuat penasaran, tentang isi di dalam bangunan arsitektur rumah adat Bandung rangki. Didalam Rumah Adat Bandung Rangki terdapat dua tempat tidur yang menyatu dengan tiang yang menyangga bangunan. Tempat isirahatnya disebut bale gede dan bale cenik. Bale gede atau pedeman gede yang berfungsi untuk tempat tidur orang tua dan juga berfungsi sebagai bale banten (tempat menaruh sesajen) pada saat ada upacara keagamaan maupun untuk tempat menidurkan mayat jika ada kematian. Karena masyarakat Bali Aga percaya, dimana tempat tidur orag tuanya disanalah tempat terdekat dengan tuhannya. Sehingga tidak heran tempat menyuguhkan ritual persembahan di pedeman gede. Sedangkan untuk anak anak, nama tempat tidurnya bernama bale cenik atau pedeman alit. Posisi tempat tidur untuk anak anak berada setelah dapur atau sejajar dengan tempat menyimpan perkakas. Hal ini menandakan bahwa posisi tempat tidur orang tua ada di ulu (di atas) sedangkan posisi tempat tidur anak ada di teben (bawah). Sehingga Masyarakat Bali Aga mengenal istilah ulun teben. Kedua jenis tempat tidur inipun memiliki perbedaan ukuran, pedeman gede memiliki ukuran yang lebih besar dari pedeman alit pada bandung rangki.
Srruktur bangunan rumah adat Bandung Rangki berdindingkan bambu dan juga tanah polpolan (tanah liat yang di jadikan dasar berdirinya bangunan), lantainyapun masih berupa tanah. Dengan dinding bamboo membuat rongga rumah ini sangat jelas. Disaat siang terasa sejuk dan di saat malam tetap bisa terasa hangat karena ada tungku api di dalam rumah. Rumah ini memiliki 6 tiyang penyangga. Yang terbuat dari kayu, Menurut cerita, pendahulu yang menjadi pemilik sekaligus perancang bangunan rumah adat Bandung Rangki bernama Pan Baged, sedangkan tukang yang mengerjakannyanya bernama Pan Tiwas. Informasi ini diperoleh dari Pan Piara almarhum yang didapatkan oleh Wayan Sukrata. Menurut beliau rumah adat Bandung rangki ini telah dibut kurang lebih 200-150 tahun yang lalu.
Dengan melihat posisi rumah, menurut cerita tetua desa, dapat dipahami bahwa Bandung Rangki artinya rumah yang berjejer namun saling berhadapan dengan rumah sebelahnya berhadapan. Contohnya bahwa ada 4 rumah berjejer. Rumah nomor 1 dapurnya berhadapan dengan dapur rumah nomor 2, bale besar (pedaman gede) dan pelangkiran rumah nomor 2 berhadapan dengan bale gede dan pelangkiran rumah nomor 3. Sedangkan dapur rumah nomor 3 akan berhadapan dengan rumah nomor 4 begitu seterusnya. Ukuran rumah yang terdiri dari satu ruangan ini memakai ukuran pemilik rumah yaitu ukuran tubuhnya ( bisa menggunakan depa, langkat, jari). Selain 2 tempat tidur dan dapur di dalam rumah akan ditemukan selepitan tempat menaruh gentong(tempoyak). Ada juga yang disebut selalon yaitu tempat menghidangkan makanan. Nama nama unik yang memiliki fungsi penting di dalam rumah ada lagi seperti berikut ini:
Dari penjelasan Pada umumnya rumah adat di desa pedawa yang ditemukan saat ini hanya terdiri dari satu ruangan saja. Masyarakat merasa bahwa rumahnya adalah tempatnya dari lahir sampai mati ada dalam rumah tersebut. Dengan semua kelengkapan rumah tangga yang ada di dalamnya air api dan sumber kehidupan semua bisa